Kejahatan Korporasi
Black’s Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate
crime adalah any criminal offense committed by and hence
chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees
(e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar
crime yang artinya kejahatan korporasi adalah
tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada
suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti
penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan
kerah putih”.
Sally. A. Simpson yang mengutip
pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah “conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which
is proscribed and punishable by law“. Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari
definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan
perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi.
Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan
atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan
administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai “subyek hukum
perorangan “legal persons“) dan perwakilannya
termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek
yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang
dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk
keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian
keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang
pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Pasal terkait korporasi :
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikenakan:
·
Pasal 5 UU No. 31/1999
“Setiap
orang yang melakukan tindak pidana sebagimana dimaksud dalam pasal 209 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (Dua ratus lima puluh
juta rupiah)”.
·
Pasal 11 UU No. 31/1999
“Setiap
orang yang melakukan tindak pidana sebagimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, dipidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00
(Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (Dua ratus lima
puluh juta rupiah)”.
·
Pasal 12 UU No. 31/1999
“Setiap
orang yang melakukan tindak pidana sebagimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal
420, Pasal 423, Pasal 425 atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp
Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomer 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, dikenakan:
·
Pasal 3 UU No. 8/2010
“Setiap
orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan
yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
·
Pasal 6 UU No. 8/2010
(1) Dalam
hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4,
dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan
atau Personil Pengendali Korporasi.
(2) Pidana
dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang:
a. Dilakukan
atau diperintahkan oleh personil pengendali Korporasi
b. Dilakukan
dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi
c. Dilakukan
sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah
d. Dilakukan
dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Contoh Kasus :
Kasus
Korupsi Pajak Hadi Poernomo dan BCA
Komisi
Pemberantasan Korupsi menetapkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi
Poernomo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pembayaran pajak PT
Bank Centra Asia (BCA). Ketua KPK Abraham Samad mengungkapkan, Hadi diduga
melakukan perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang dalam
kapasitas dia sebagai Direktur Jenderal Pajak 2002-2004.
Menurut Abraham,
kasus ini berawal ketika BCA mengajukan keberatan pajak atas transaksi non
performance loan (kredit bermasalah) sekitar 17 Juli 2003. Nilai
transaksi bermasalah PT Bank BCA ketika itu sekitar Rp 5,7 triliun.
BCA Tbk dalam hal
ini mengajukan keberatan pajak atas transaksi non performance loan sebesar
Rp 5,7 triliun kepada Direktorat PPh (Pajak Penghasilan). Kemudian, setelah
surat itu diterima PPh, maka dilakukan pengkajian lebih dalam untuk bisa
mengambil kesimpulan, pada 13 Maret 2004, Direktorat PPh menerbitkan surat yang
berisi hasil telaah mereka atas keberatan pembayaran pajak yang diajukan PT
Bank BCA. Surat tersebut berisi kesimpulan PPh bahwa pengajuan keberatan pajak
BCA harus ditolak.
"Direktur PPh
menyampaikan kepada Dirjen Pajak dalam kesimpulannya bahwa permohonan wajib
pajak BCA harus ditolak, namun, pada 18 Juli
2004, Hadi selaku Dirjen Pajak ketika itu justru memerintahkan Direktur PPh
untuk mengubah kesimpulan. Melalui nota dinas tertanggal 18 Juli 2004, Hadi
diduga meminta Direktur PPh untuk mengubah kesimpulannya sehingga keberatan
pembayaran pajak yang diajukan PT Bank BCA diterima seluruhnya.
Pada hari itu juga, Hadi diduga langsung mengeluarkan
surat keputusan ketetapan wajib pajak nihil yang isinya menerima seluruh
keberatan BCA selaku wajib pajak. Dengan demikian, tidak ada lagi waktu bagi
Direktorat PPh untuk memberikan tanggapan yang berbeda atas putusan Dirjen
Pajak tersebut.
Selain itu, Hadi diduga mengabaikan adanya fakta
materi keberatan yang diajukan bank lain yang memiliki permasalahan sama dengan
BCA. Pengajuan keberatan pajak yang diajukan bank lain tersebut ditolak. Namun,
pengajuan yang diajukan BCA diterima, padahal kedua bank itu memiliki
permasalahan yang sama.
Oleh karena itu, KPK menemukan fakta dan bukti yang
akurat dan berdasarkan itu. KPK adakan forum ekspos dengan satuan tugas
penyelidikan dan seluruh pimpinan KPK sepakat menetapkan HP selaku Dirjen Pajak
2002-2004 dan kawan-kawan sebagai tersangka
KPK menjerat Hadi dengan Pasal 2
Ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junctoPasal
55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal tersebut mengatur mengenai setiap orang yang melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara maupun setiap orang yang menyalahgunakan
kewenangan dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp
1 miliar. Atas
perbuatan Hadi ini, negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp 375 miliar.
Menurut Wakil Ketua KPK, Bambang
Widjojanto, nilai kerugian negara ini adalah besaran pajak yang tidak jadi
dibayarkan BCA kepada negara. "Yang seharusnya negara menerima Rp 375
miliar tidak jadi diterima dan itu menguntungkan pihak lainnya, tidak selamanya
harus menguntungkan si pembuat kebijakan," kata Bambang.
Sumber :
http://hukum.kompasiana.com/2014/04/24/kejahatan-korporasi-dalam-penerapan-sanksi-hukum--650884.html
http://fistiafanni.blogspot.com/2013/11/kasus-kejahatan-korporasi-dalam-kasus.html
http://nasional.kompas.com/read/2014/04/21/1929221/Ini.Detail.Kasus.Dugaan.Korupsi.Pajak.yang.Menjerat.Hadi.Poernomo
http://nasional.kompas.com/read/2014/08/28/18363161/Diyakini.Terlibat.Korupsi.Hadi.Poernomo.Tak.Akan.Dilepas.KPK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar