Cari Blog Ini

Minggu, 30 November 2014

Kejahatan Korporasi & Kasus

Kejahatan Korporasi
Black’s Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate crime adalah any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crime yang artinya kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”.
Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalahconduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law“. Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai “subyek hukum perorangan legal persons“) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Pasal terkait korporasi :

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikenakan:
·         Pasal 5 UU No. 31/1999
“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagimana dimaksud dalam pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (Dua ratus lima puluh juta rupiah)”.
·         Pasal 11 UU No. 31/1999
“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (Dua ratus lima puluh juta rupiah)”.
·         Pasal 12 UU No. 31/1999
“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dikenakan:
·         Pasal 3 UU No. 8/2010
“Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
·         Pasal 6 UU No. 8/2010
(1)   Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan atau Personil Pengendali Korporasi.
(2)   Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang:
a.      Dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali Korporasi
b.      Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi
c.      Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah
d.    Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”




Contoh Kasus :
Kasus Korupsi Pajak Hadi Poernomo dan BCA
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pembayaran pajak PT Bank Centra Asia (BCA). Ketua KPK Abraham Samad mengungkapkan, Hadi diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang dalam kapasitas dia sebagai Direktur Jenderal Pajak 2002-2004.
Menurut Abraham, kasus ini berawal ketika BCA mengajukan keberatan pajak atas transaksi non performance loan (kredit bermasalah) sekitar 17 Juli 2003. Nilai transaksi bermasalah PT Bank BCA ketika itu sekitar Rp 5,7 triliun.
BCA Tbk dalam hal ini mengajukan keberatan pajak atas transaksi non performance loan sebesar Rp 5,7 triliun kepada Direktorat PPh (Pajak Penghasilan). Kemudian, setelah surat itu diterima PPh, maka dilakukan pengkajian lebih dalam untuk bisa mengambil kesimpulan, pada 13 Maret 2004, Direktorat PPh menerbitkan surat yang berisi hasil telaah mereka atas keberatan pembayaran pajak yang diajukan PT Bank BCA. Surat tersebut berisi kesimpulan PPh bahwa pengajuan keberatan pajak BCA harus ditolak.
"Direktur PPh menyampaikan kepada Dirjen Pajak dalam kesimpulannya bahwa permohonan wajib pajak BCA harus ditolak, namun, pada 18 Juli 2004, Hadi selaku Dirjen Pajak ketika itu justru memerintahkan Direktur PPh untuk mengubah kesimpulan. Melalui nota dinas tertanggal 18 Juli 2004, Hadi diduga meminta Direktur PPh untuk mengubah kesimpulannya sehingga keberatan pembayaran pajak yang diajukan PT Bank BCA diterima seluruhnya.
Pada hari itu juga, Hadi diduga langsung mengeluarkan surat keputusan ketetapan wajib pajak nihil yang isinya menerima seluruh keberatan BCA selaku wajib pajak. Dengan demikian, tidak ada lagi waktu bagi Direktorat PPh untuk memberikan tanggapan yang berbeda atas putusan Dirjen Pajak tersebut.
Selain itu, Hadi diduga mengabaikan adanya fakta materi keberatan yang diajukan bank lain yang memiliki permasalahan sama dengan BCA. Pengajuan keberatan pajak yang diajukan bank lain tersebut ditolak. Namun, pengajuan yang diajukan BCA diterima, padahal kedua bank itu memiliki permasalahan yang sama.
Oleh karena itu, KPK menemukan fakta dan bukti yang akurat dan berdasarkan itu. KPK adakan forum ekspos dengan satuan tugas penyelidikan dan seluruh pimpinan KPK sepakat menetapkan HP selaku Dirjen Pajak 2002-2004 dan kawan-kawan sebagai tersangka
KPK menjerat Hadi dengan Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junctoPasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal tersebut mengatur mengenai setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara maupun setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Atas perbuatan Hadi ini, negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp 375 miliar.
Menurut Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, nilai kerugian negara ini adalah besaran pajak yang tidak jadi dibayarkan BCA kepada negara. "Yang seharusnya negara menerima Rp 375 miliar tidak jadi diterima dan itu menguntungkan pihak lainnya, tidak selamanya harus menguntungkan si pembuat kebijakan," kata Bambang.

Sumber :
http://hukum.kompasiana.com/2014/04/24/kejahatan-korporasi-dalam-penerapan-sanksi-hukum--650884.html
http://fistiafanni.blogspot.com/2013/11/kasus-kejahatan-korporasi-dalam-kasus.html
http://nasional.kompas.com/read/2014/04/21/1929221/Ini.Detail.Kasus.Dugaan.Korupsi.Pajak.yang.Menjerat.Hadi.Poernomo
http://nasional.kompas.com/read/2014/08/28/18363161/Diyakini.Terlibat.Korupsi.Hadi.Poernomo.Tak.Akan.Dilepas.KPK


Senin, 17 November 2014

Pelanggaran Etika Bisnis

Larutan Cap Kaki Tiga vs Larutan Penyegar Cap Badak

Mungkin beberapa dari kita sudah tidak asing lagi dengan minuman larutan penyengar, dan masyarakat lebih mengenal larutan penyegar Cap Kaki Tiga yang bergambar badak pada kemasanya. Namun seiring berjalanya waktu di pasaran mulai muncul dua jenis larutan penyegar, yaitu Larutan Cap Kaki Tiga dan Larutan Cap Badak. Hal ini justru membingungkan bagi masyarakat, karena mereka lebih mengenal larutan cap kaki tiga. Masyarakat berpikir mana yang asli, apakah khasihat dan manfaat masing- masing  produk sama atau tidak.


Jelas itu berbeda karena larutan penyegar Cap Badak diproduksi oleh PT Sinde Budi sedangkan  Larutan Cap Kaki Tiga diproduksi oleh Kinocare (PT. Duta Lestari) dengan kemasan yang hampir sama. Begitu juga rasa, khasihat dan manfaat yang berbeda pula pada masing- masing produk.

Berikut awal bagaiman sejarah munculnya larutan penyegar.
Minuman pereda panas dalam yang berkhasiat menyembuhkan gejalanya seperti sariawan, bibir pecah-pecah dan susah BAB ini pertama kali masuk ke Indonesia di tahun 1978 dengan nama Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga. Merek Cap Kaki Tiga pertama sekali didirikan di Malaysia pada tahun 1937.


Arti lambang Tiga Kaki :

  • Kaki yang terarah ke atas melambangkan kehidupan yang harus selalu terarah pada ajaran tentang kebenaran yang bersumber dari yang maha kuasa.
  • Kaki yang berpijak ketanah melambangkan kerja keras yang harus dilakukan untuk mencapai sebuah kesuksesan.
  • Kaki yang bersimpuh melambangkan kerendahan hati yang harus dimiliki setiap orang yang berakhlak mulia.

Pabrik keduanya dibangun di Petaling Jaya tahun 1968. Dan kini sudah merambah ke lebih dari 20 negara, termasuk Australia, India dan Turki. Wen Ken Drug Co (Pte) Ltd sebagai pemilik merek memberikan hak pakai dan produksi pertama kali di Indonesia kepada PT. Sinde Budi Sentosa. Lalu PT. Sinde Budi memberikan hak pendistribusian Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga kepada PT. Duta Lestari (cikal bakal Kinocare). Kebetulan owner kedua perusahaan ini bersahabat baik. Kedua owner ini pun bersahabat juga dengan owner Wen Ken Drug.

Seiring berjalannya waktu rupanya tak selamanya hubungan keduanya berjalan mulus. PT. Sinde Budi Sentosa menarik hak pendistribusian dari PT. Duta Lestari. Menurut versi Sinde Budi penyebabnya adalah adanya tunggakan faktur yang tidak diselesaikan oleh pihak Duta Lestari. Dan menurut Sinde pada awalnya Sinde Budi Sentosa dan Wen Ken Drug memang terjadi kesepakatan untuk mendaftarkan merek Cap Kaki Tiga. Namun, Wen Ken Drug tidak meminta Sinde Budi Sentosa untuk mendaftarkan Cap Kaki Tiga beserta gambar badak dan tulisan larutan penyegar dalam bahasa Indonesia dan Arab. Wen Ken Drug hanya meminta mendaftarkan logo Cap Kaki Tiga.

Sementara versi pihak Duta Lestari (sekarang Kinocare) mengatakan bahwa pihak Sinde Budi minta Bank Garansi padahal dulunya tidak ada perjanjian seperti itu. Sinde Budi Sentosa tidak mendaftarkan etiket dagang Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak sebagaimana mestinya milik Wen Ken Drug. Justru, Sinde Budi Sentosa mendaftarkan merek Badak yang merupakan salah satu unsur pokok yang merupakan bagian yang tak dapat terpisahkan dari merek Cap Kaki Tiga. Sinde Budi Sentosa tidak membayar royalti secara tepat waktu. Tidak melaporkan laporan produksi atau penjualan produk-produk menggunakan merek Cap Kaki Tiga secara periodik. Serta Sinde Budi Sentosa juga menghilangkan gambar atau logo Kaki Tiga dari kemasan produk Cap Kaki Tiga. Daripada memberikan Bank Garansi lebih baik uangnya buat mengembangkan usaha, begitu kata owner Duta Lestari. Entah mana yang benar yang jelas kala itu distribusi Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga tidak lagi didistribusikan oleh Duta Lestari (cikal bakal Kinocare).

Setelah konflik dengan Duta Lestari beberapa lama kemudian hak produksi dan distribusi Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga yang dimiliki Wen Ken Drug pun dicabut dari PT. Sinde Budi Sentosa. Penyebabnya menurut kompas.com yang dikutip dari tabloid Kontan karena Sinde Budi melakukan wanprestasi dan kecurangan. Mulai 28 April 2011 secara resmi Wen Ken Drug mengalihkan kuasa produksi dan distribusi dari Sinde Budi Sentosa ke Kino. Karena memang Kino-lah yang sebelumnya mendistribusikan Cap Kaki Tiga, meskipun produksinya oleh Sinde Budi. Kini brand Cap Kaki Tiga diproduksi dan didistribusikan oleh Kinocare dengan nama Larutan Cap Kaki Tiga tanpa penyegar. Sementara Sinde Budi memakai merek Larutan Penyegar Cap Badak.

Dari permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa pihak yang dirugikan adalah pemilik awal Cap Kaki Tiga yaitu Wen Ken Drug karena menganggu penjualan produk cap kaki tiga yang dilakukan oleh pihak Sinde Budi Sentosa dengan merek dagang Larutan Penyegar Cap Badak. Dan pihak yang dirugikan selanjutnya adalah masyarakat, karena membuat mereka bingung mana produk yang asli dari larutan penyegar. Namun itu semua kembali kepada kita sebagai masayarakat, untuk memilih produk mana yang sesuai dan cocok dengan kebutuhan kita masing- masing.


Sumber :
  •  http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/01/22/larutan-cap-kaki-tiga-atau-cap-badak-527012.html
  • http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt512598663e72d/perseteruan-produsen-larutan-penyegar-berlanjut
  •  http://lenterakecil.com/larutan-cap-kaki-tiga/